Perlukah kekerasan dalam mendidik


Perlukah Kekerasan dalam Mendidik?
Oleh: MUHAMMAD ZANUDIN

Kekerasan tidak akan terjadi bila guru bisa mendalami karakteristik siswa serta mengembangkan kemampuan siswa dengan metode dan pendekatan yang tepat. Pendekatan konstruktivistik menjadi jawaban dari psikologi behavioristik yang biasa diterapkan dalam mendidik.

Siswa mempunyai karakteristik individual yang berbeda antara satu dan lainnya. Apabila seorang guru mampu menangani masalah siswa dengan metode A, belum tentu metode A tersebut efektif menangani siswa lain dengan masalah yang berbeda. Kadang guru menggeneralisasi bahwa metode yang sama masih cukup efektif untuk diterapkan dalam mendidik semua karakter siswa. Hal ini memang tidak sepenuhnya disalahkan. Sebab, model pembelajaran klasikal di mana guru harus menangani satu kelas besar berjumlah lebih dari 36 siswa memang cukup kerepotan. Tetapi, bukan berarti jalan kekerasan menjadi metode pemungkas agar siswa memperhatikan apa yang dijelaskan guru.

Profesionalitas guru merupakan paduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, social, dan spiritual yang secara kaffah membentuk kompetensi standar profesi guru yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme (Mulyasa, 2007). Karena itu, guru sebenarnya mempunyai peran yang cukup sentral. Artinya, guru sebenarnya tidak sekadar pengajar yang hanya bisa mentransfer ilmu. Tetapi, guru juga berperan sebagai sutradara, konsultan, pelatih, manajer, motivator, dan teman yang mumpuni. Tugas guru yang sedemikian kompleks ini tidak akan terwujud maksimal apabila guru enggan menginovasi pengetahuan yang dimiliki. Sehingga, metode pendekatan terhadap siswa-siswa sejak zaman penjajahan feodal tetap dipakai hingga sekarang.

Kenakalan siswa juga bukan sepenuhnya kesalahan guru. Pendidikan yang dilakukan guru di sekolah hanya berkisar 6-7 jam dari 24 jam waktu yang dimiliki siswa. Selebihnya (16-17 jam), siswa berada dalam wilayah pendidikan orang tua dan lingkungannya. Apabila orang tua tidak sempat memberikan pendidikan karena kesibukan, yang akan mendidik siswa adalah sinetron, video game, film, teman, dan lain-lain. Pendidikan yang terakhir inilah yang lebih tertanam dalam benak siswa daripada pendidikan yang dilakukan guru. Sehingga, mudah saja menghapus memori yang diterima selama 6-7 jam dan menggantikan dengan pendidikan baru selama 16-17 jam.
Kekerasan bisa jadi sangat dipengaruhi oleh teori pendidikan terdahulu yang tergabung dalam teori behavioristik.

Belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumen yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung kepada faktor-faktor kondisional yang diberikan oleh lingkungan. Lingkungan yang mengondisikan pada kekerasan akan sangat efektif membuat siswa belajar walau dalam keadaan terpaksa. Teori-teori behavioristik sangat berhasil ketika diterapkan pada hewan. Seperti Pavlov (1927) mengadakan percobaan pada anjing. Anjing tersebut diberi makanan dan diberi bel.

Pada saat diberi makan, keluarlah respons anjing tersebut berupa air liur. Demikian juga jika dalam pemberian makanan tersebut disertai bel. Air liur tersebut juga keluar. Pada saat bel dibunyikan tanpa makanan, anjing tersebut juga mengeluarkan air liur. Makanan yang diberikan tersebut oleh Pavlov disebut sebagai perangsang tak bersyarat (stimulus), sementara bel yang menyertai disebut sebagai perangsang bersyarat, sedangkan air liur adalah balikan (respons).

Teori Pavlov ini banyak diadopsi dalam dunia pendidikan terdahulu dengan cara mengondisikan lingkungan pendidikan seperti guru-guru dibuat dengan kesan killer sebagai stimulus dengan harapan respons anak didik menjadi penurut dan mudah diatur sebagai modal dalam belajar.

Dengan pendekataan behavioristik anak memang terkesan menjadi pelajar yang baik. Namun, banyak sekali kegiatan belajar yang kehilangan makna. Sebab, sebenarnya mereka tidak begitu tahu apa yang mereka lakukan. Yang mereka tahu bagaimana bersikap baik untuk saat itu agar memiliki nilai yang baik. Hal inilah yang mengakibatkan pendidikan salah arah, yaitu hanya menghasilkan siswa pandai bernilai tinggi tanpa punya hati.

Kritik terhadap behaviorisme telah melahirkan teori konstruktivisme, yaitu pengetahuan adalah suatu hal yang alami yang mengajarkan kita bagaimana harus tahu, dan hal-hal penting apa yang harus kita pertimbangkan sebagai bentukan (konstruktif) pemikiran kita. Von Glasersfeld (1987) menggambarkan konstruktivisme adalah teori pengetahuan yang berakar pada filosofi, psikologi, dan sibernetika (ilmu tentang komunikasi, kontrol sistem dalam kehidupan). Dalam perspektif konstruktivisme pengetahuan dibentuk oleh individu yang berinteraksi dengan lingkungannya.

Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah nonobjektif bersifat temporer, selalu berubah-ubah tidak menentu. Belajar adalah menyusun pengetahuan dari pengalaman kongkret, aktivitas kolaborasi, refleksi, dan interpretasi. Sedangkan guru mengajar dengan menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali dan menghargai perbedaan dan fakta yang ada. Siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalaman dan perspektif yang dipakai dalam mengintrospeksikannya.

Mendidik siswa dengan kekerasan sebaiknya diganti mendidik dengan kesadaran. Kesadaran ini bisa dibentuk apabila lingkungan di sekolah memang cukup kondusif dan memiliki komitmen dalam menerapkannya. Anak diajak berpikir bahwa ketika saya membolos, akan ada sanksi bukan berupa hukuman fisik, tetapi penambahan poin pelanggaran. Apabila jumlah poin pelanggaran sudah sudah memenuhi angka tertentu, siswa akan diberi sanksi mulai merawat lingkungan taman sekolah sampai bila perlu diberi sanksi berupa pemberian tugas dirumah dan terakhir sampai pengeluaran siswa dari sekolah.

Tindakan ini cenderung konstruktif dan mendidik anak cinta lingkungan dan lebih menghargai aturan yang sudah disepakati bersama ketika anak bersedia masuk sekolah tersebut. Sehingga, guru tidak perlu menjewer ataupun sampai menempeleng dan tindak kekerasan lainnya, cukup diberi pengertian dan menambah poin hukuman. Hal ini juga akan menambah reputasi sekolah bahwa untuk bersekolah di sekolah tersebut harus selalu memperbaiki sikap, menambah pengetahuan terus-menerus, dan meningkatkan keterampilan hidup. Para guru dan kepala sekolah juga perlu belajar terus-menerus menata lingkungan yang kondusif yang sekiranya dengan melihat tatanan lingkungan sekolah siswa sudah bisa membaca, paham dan bersikap seperti apa tanpa harus diberi tahu, apalagi dipaksa dengan kekerasan.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Perlukah kekerasan dalam mendidik"

Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver